NA'AT DAN 'ATHOF



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Isim yang ikut pada isim yang awal didalam i’robnya itu ada empat yaitu na’at, taukid, ‘athof, dan badal. Kemudian semua isim tersebut dinamakan at-tawaabi’, taabi’ ialah isim yang bersekutu dengan isim sebelumnya didalam i’robnya secara mutlaq. Dengan qoyyid mutlaq ini, maka khobar dan terkib hal tidak dinamakan taabi’, karena tidak ikut pada isim sebelumnya secara mutlaq, bahkan hanya pada sebagian tingkahnya saja.

B.      Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud na’at ?
2. Ada berapa pembagian na’at ?
3. Apasaja faidah-faidah na’at ?
4. Apa yang dimaksud ‘athof ?
5. Ada berapa pembagian ‘athof ?
6. Apasaja faidah-faidah ‘athof ?

C.     Tujuan Pembahasan
Adapun mengenai tujuan dari pembahasan ialah :
1.      Untuk mengetehui semua permasalahan yang ada pada rumusan masalah.
2.      Untuk meningkatkan pengetahuan tentang ilmu alat.
3.      Untuk meningkatakan kreativitas.  


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Na’at
Beberapa pengertian tentang na’at :
فالنعت تابع متمّ ما سبق ( ) بوسمه او وسم ما به اعتلق
Na’at yaitu lafadz yang mengikuti pada lafadz sebelumnya yang menyempurnakan matbu’, dengan menyebutkan sifatnya man’ut atau sifatnya lafadz yang berhubungan dengan man’ut.[1]
النعت هو التابع المكمّل متبوعه ببيان صفة من صفاته
Na’at ialah taabi’ ( lafadz yang ikut pada matbu’ ) yang di datangkan untuk menyempurnakan maknanya matbu’ dengan menjelaskan sifatnya.[2]
النعت تابع يدلّ على صفة في اسم قبله
Na’at ialah taabi’ yang menunjukkan sifat pada isim sebelumnya.[3]
النعت هو ما يذكر بعد اسم ليبيّن بعض أحواله أو أحوال ما بتعلّق به
Na’at adalah Lafadz yang disebut sesudah isim untuk menjelaskan sebagian dari tingkah-tingkahnya isim tersebut atau menjelaskan lafadz yang berhubungan dengan isim tersebut.[4]
Seperti contoh:  جَاءَتِلْمِيْذٌ مُجْتَهِد  (telah datang seorang murid yang rajin ), lafadz مجتهد itu merupakan lafadz yang  mensifati seorang murid yang telah datang, sehingga lafadz tersebut menjadi sifat untuk lafadz تلميذ  yang dirofa’kan dengan dlommah. Dan seperti contoh:
جاء رجلٌ قائمٌ ابوه           ( telah datang seorang lelaki yang berdiri ayahnya ).
B.     Pembagian Na’at
Na’at itu dibagi dalam dua hal yaitu na’at haqiqi dan na’at sababi.
a.       Na’at haqiqi adalah lafadz yang menjelaskan sifat-sifatnya lafadz yang I’robnya mengikuti pada matbu’nya. Seperti contoh: جاء الرجل الفاضل
b.      Na’at sababi adalah lafadz yang menjelaskan sifat-sifatnya lafadz yang masih berhubungan dengan matbu’ yaitu lafadz yang bertemu dlomir yang kembali pada matbu’. Seperti contoh: جاء الرجل الفاضل أخوه
Maka, pada contoh na’at haqiqi tersebut, lafadz الفاضل itu lafadz yang menjelaskan sifatnya الرجل .Namun pada contoh na’at sababi, lafadz الفاضل itu tidak menjelaskan sifatnya الرجل , karena tidak ada tujuan mensifatinya dengan lafadz الفاضل , akan tetapi lafadz الفاضل itu menjelaskan sifatnya أخوه  yang merupakan lafadz yang bertemu dlomir yang kembali pada lafadz الرجل , karena lafadz الرجل itu merupakan lafadz yang dinisbatkan pada lafadz أخوه.
Na’at baik yang haqiqi atau sababi, selain wajib mengikuti man’utnya dalam segi i’rob, juga wajib mengikuti dalam hal ma’rifat dan nakirohnya[5], contoh :
a)      Yang ikut dalam nakirohnya :
1.      امرر بقوم كرماء             “Jumpailah orang-orang yang mulia”
2.      امرر بقوم كرماء اباؤهم   “Jumpailah orang-orang yang mulia                                                           ayahnya”.
Man’ut yang nakiroh tidak boleh diberi na’at yang ma’rifat, maka tidak boleh mengucapkan : بقوم الكرماء
b)      Yang ikut dalam ma’rifatnya :
1.      امرر بالقوم الكرماء                     “Jumpailah orang-orang yang mulia”
2.      امرر بالقوم الكرماء اباؤهم            “Jumpailah orang-orang yang mulia                                                           ayahnya.”
Man’ut yang ma’rifat tidak boleh diberi na’at yang nakiroh, maka tidak boleh mengucapkan : بالقوم كرماء
Na’at itu seperti fi’il dalam hal mengikuti  man’utnya dalam segi mufrod, tasniyah, jama’, mudzakkar dan muannas, dengan perincian sebagai berikut :
a)      Na’at haqiqi ( merofa’kan dlomir mustatir ).[6]
Apabila na’atnya merofa’kan dlomir mustatir maka hukumnya secara mutlaq wajib mengikuti pada man’ut dalam seluruh hal diatas, sebagaimana fi’il yang merofa’kan dlomir mustatir.
Contoh :
1.      زيد رجل حسن                       Zaid adalah lelaki yang tampan
Sebagaimana diucapkan   : رجل حسن
2.      الزيدان رجلان حسنان             Kedua zaid itu keduanya adalah lelaki yang tampan
Seperti diucapkan            : رجلان حسنا
3.      الزيدون رجال حسنون Zaid-zaid itu semuanya adalah lelaki yang tampan
Seperti diucapkan            : رجال حسنوا
4.      هند امرأة حسنة                     Hindun adalah wanita yang cantik
Seperti diucapkan            : امرأة حسنت
5.      الهندان امرأتان حسنتان           Kedua hindun itu adalah wanita yang cantik
Seperti diucapkan            : امرأتان حسنتان
6.      الهندات نساء حسنات               Hindun-hindun itu semuanya wanita-wanita yang                                              cantik.
Seperti diucapkan            : نساء حسنّ
b)      Na’at sababi ( merofa’kan isim dhohir )[7]
Apabila na’at merofa’kan isim dhohir, maka hukumnya dalam segi muannas dan mudzakkarnya disesuaikan dengan isim dhohirnya, dalam segi tasniyyah dan jama’, na’at selalu dibentuk mufrod. Seperti halnya  fi’il yang merofa’kan isim dhohir.
Contoh :
1.      مررت برجل حسنة امّه             Aku telah bersua dengan seorang lelaki yang                                                      cantik   ibunya.
Seperti diucapkan                         : حسنت امّه
2.      مررت بامرأتين حسن ابواهما    Aku telah bersua dengan kedua orang wanita                                                     yang tampan ayah ibunya.
Seperti diucapkan                        : حسن ابواهما
3.      مررت برجال حسن اباؤهم        Aku telah bersua dengan lelaki-lelaki yang                                                          tampan ayah-ayahnya
Seperti diucapkan                        : حسن اباؤهم
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan :
1.      Na’at haqiqi itu harus mengikuti man’utnya pada empat perkara dari sepuluh perkara yaitu :
1)      Dalam segi i’robnya ( rofa’, nashob dan jer ).
2)      Dalam mufrod, tasniyyah dan jama’.
3)      Dalam nakiroh dan ma’rifatnya.
4)      Dalam mudzakkar dan muannasnya.
2.      Na’at sababi itu mengikuti man’utnya pada dua perkara dari lima perkara yaitu :
1)      Dalam segi i’robnya ( rofa’, nashob dan jer ).
2)      Dalam nakiroh dan ma’rifatnya.
Na’at haqiqi itu ada tiga macam yaitu:
1.      Isim dlohir, contoh: القاهرة مدينة عظيمة
2.      Syibeh jumlah ( dlorof / jer dan majrur ), contoh:
-dlorof:
 في الدار رجل امام الكرسيّ  asalnya أمام الكرسيّ في الدار رجل" كائن أو موجود"
-jermajrur:
  رايت رجلا على حصانه asalnyaرايت رجلا "كائنا أو موجودا"على حصانه
Na’at pada hakikatnya itu lafadz yang dihubungkan pada dlorof atau huruf jer yang dibuang.
3.      Jumlah ismiyah atau fi’liyah, contoh:
-ismiyah: مضى يوم برده قارس
-fi’liyah : هذا عمل يفيد

C.    Faidah-faidah  Na’at
Na’at itu memiliki beberapa macam faidah, yaitu:[8]
a.         Taudlih (menjelaskan).
Yaitu menghilangkan persekutuan secara lafadz didalam beberapa isim ma’rifat. Faidah ini terjadi apabila man’utnya berupa isim ma’rifat.
Seperti contoh:
جاءنى زيد التاجر              "Telah datang padaku zaid yang perdagang"
جاءنى زيد التاجر أبوه         "Telah datang padaku,  zaid yang ayahnya seorang                                                  pedagang”.
b.        Takhsis (menentukan)
Yaitu menyedikitkan persekutuan makna didalam beberapa isim nakiroh. Faidah ini terjadi apabila man’utnya berupa isim nakiroh.
Contoh:
جاءنى زيد تاجر                “Telah datang padaku zaid yang perdagang”          
جاءنى زيد تاجر أبوه           “Telah datang padaku,  zaid yang ayahnya seorang                                                  pedagang”.
c.         Ta’mim (meratakan)
Contoh:
يرزق الله عباده الطائعين والعاصين الساعية اقدامهم والساكنة اجسامهم
“Allah memberi rizqi kepada hamba-hambanya yang kuat, yang durhaka, yang berusaha dan tidak berusaha.”

d.        Mad-hu (memuji)
Contoh:
مررت بزيد الكريم   .1                  “Aku telah berjalan-jalan dengan zaid yang mulya”
2.  بسم الله الرحمن الرحيم           “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah                                             lagi Maha Penyayang”.
e.         Dzam (mencela)
Contoh:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم Aku berlindung kepada Allah dari Syetan yang terkutuk.”
f.         Tarohhum (belas kasihan)
Contoh:
اللهم ارحم عبدك المسكين    Yaa.. Allah, kasihanilah hamba-Mu yang miskin.”
g.        Taukid (menguatkan)
Contoh:
 فإذا نفخ في الصور نفخة واحدة      “Maka apabila sangkakala ditiup sekali                                                                   tiup.” ( QS. Al-Haaqqah : 13)
Lafazh WAAHIDATUN = Na’at yang berfaidah sebagai Taukid, sebab makna wahidah sudah dimafhumi dari Man’ut lafazh NAFKHOTUN yang berupa Isim Murroh.
h.        Ibham (membuat tidak jelas)
Contoh:
تصدّقت بصدقة كثيرة او قليلة نافع ثوابها او شائع احتسابها
“ Aku bershodaqoh dengan shodaqoh yang banyak atau sedikit, yang bermanfa’at pahalanya atau (malah) penuh dengan hisab.”
i.          Tafsil (memerinci)
Contoh:
مررت برجلين عربيّ و عجميّ كريم ابواهما لئيم احدهما
“ Aku telah berjalan-jalan dengan dua orang laki-laki, yang satu berkebangsaan arab yang lain selain arab, yang mulia kedua orang tuanya, yang tercela salah satunya.”

D.    Definisi ‘Athaf 
العطف لغة هو  الرجوع الى الشيء بعد الإنصراف عنه
‘Atof secara bahasa adalah kembali pada sesuatu perkara setelah berpaling pada perkara tadi.[9]
وإصطلاحا قسمان احدهما عطف النسق والثانى ذو البيان
Menurut istilah ‘athof itu ada dua bagian yaitu ‘athof nasaq dan ‘athof bayan.[10]
الْعَطْفُ إِمَّا ذُو بِيانِ أوْ نَسَقْ ¤ وَالْغَرَضُ الآن بَيانُ مَا سَبَقْ
Athaf terbagi: pertama Athaf Bayan, kedua Athaf Nasaq. Sasaran kali ini menerangkan bagian Athaf yang pertama (Athaf Bayan).[11]
1.      Pengertian Athof Bayan
فَذُو الْبَيَانِ تَابعٌ شِبْهُ الصِّفَهْ ¤ حَقِيقَةُ الْقَصْدِ بِهِ مُنْكَشِفَهْ
Athaf Bayan adalah Tabi’ menyerupai sifat, yang-mana hakekat yang dimaksud menjadi terungkap dengannya.[12]
عطف البيان هو التابع الشبيه بالصفة في التوضيح والتخصيص
‘Athof Bayan ialah tabi’ yang menyerupai sifat didalam olehnya menjelaskan dan menentukan matbu’nya.[13]
Definisi Athaf Bayan adalah Isim Tabi’ yang berfungsi sebagai Idhah (penjelas) atau sebagai Takhshish (pengkhusus), berupa Isim Jamid tanpa takwil.
Penjelasan Definisi :
a.  Tabi’  adalah Isim Jenis bagian dari Tawabi’.
      b. Idhah adalah Apabila Matbu’nya berupa Isim Ma’rifah, untuk menghilangkan perkara serupa yang  beredar dan mengarah pada maksud Isim Ma’rifah, dikarenakan mempunyai banyak kepenunjukan.
c.Takhshish adalah Apabila Matbu’nya berupa Isim Nakirah, untuk membatasi kepenunjukannya
         dan mempersempit jangkauannya.
Contoh sebagai Idhoh (penjelasan):
أكرمت محمداً أخاك     “Aku memulyakan Muhammad Saudaramu”.
Lafazh “AKHOOKA berfungsi untuk menjelaskan maksud daripada lafah “MUHAMMADAN” sekalipun berupa Isim Ma’rifat atau andaikan tanpa penyebutan Tabi’, maka ia tetap membutuhkan tambahan keterangan dan penjelasan.
Contoh sebagai Takhshish (penghusus):
سمعت كلمة خطبةً كثيرة المعاني قليلة الألفاظ
Saya telah mendengar kalimat khotbah yang kaya akan makna nan simpel lafazhnya.
Lafazh KHUTHBATAN” sebagai Athaf Bayan, digunakan sebagai pengkhusus dari Isim Nakirah “KALIMATAN” dikarenakan banyaknya kepenunjukannya bisa kalimat syair, kalimat natsar, kalimat khotbah, kalimat peribahasa. Oleh karena itu andaikan tanpa menyebut Tabi’ maka lafazh “KALIMATAN” tetap dalam status keumumannya didalam banyaknya kepenunjukannya.
Penyebutan Qoyyid Idhoh dan Takhshish ini, untuk mengeluarkan pengertian Tabi’ Taukid, Tabi’ Athaf Nasaq dan Tabi’ Badal.
Contoh Taukid :
جاء الأمير نفسه                    Penguasa telah datang sendirinya.
Contoh Athaf Nasaq :
قرأت التفسير والحديث             Aku membaca Tafsir dan Hadits.  
Contoh Badal :
قضيت الدين نصفه                  Aku melunasi hutang separuhnya.
Ketiga contoh Tabi’ diatas sesungguhnya bukan sebagai Idhoh bagi kalimah Matbu’.
Adapun Tabi’ Na’at tidak keluar dari definisi qayyid Idhoh dan Takhsis tapi keluar dari qayyid lain. Na’at dan Athof Bayan bersekutu dalam hal fungsi Idhoh, akan tetapi pada Athof Bayan berfungsi sebagai penjelasan bagi dzat Matbu’, yakni penerangan eksistensi hakikat asalnya. Sedangkan pada Na’at bukan sebagai penjelasan secara langsung terhadap dzat asal Matbu’nya (man’utnya), tapi sebagai keterangan Sifat diantara sifat-sifatnya. Contoh perbedaan fungsi Idhah antara Na’at dan Athaf Bayan : 
Contoh Na’at :
هذا خالد الكاتب                 “Ini adalah Khalid sang sekretaris”.
Lafazh Al-Kaatibu sebagai Na’at sebagai keterangan atau penjelas bagi Matbu’nya dengan menyebut sifat diantara sifat-sifatnya.
Contoh Athaf Bayan :
هذا التاجر خليل                 “Dia ini seorang pedagang (dia) Khalil”.
Lafazh Kholiilun sebagai Athaf Bayan sebagai penjelasan dzat Matbu’ At-Taajiru.
Jamid : Umumnya Athaf Bayan berupa Isim Jamid, demikian juga membedakan dengan Na’at yang umumnya berupa Isim Musytaq.
Tanpa Takwil  Yakni tanpa ditakwil isim musytaq, juga sebagai pembeda dari Naat Jamid yg harus ditakwil Isim Musytaq, seperti contoh Naat yang berupa Isim Isyaroh :
. مررت بعلي هذا               Aku berjumpa dengan Ali ini”.  
Lafazh Haadzaa  sebagai Naat Jamid yang ditakwil : yang hadir ini.
2.      Pengertian Athaf  Nasaq 
تَالٍ بحَرْفٍ مُتْبعٍ عَطْفُ النَّسَقْ ¤ كَاخصُصْ بوُدٍّ وَثَنَاءٍ مَنْ صَدَقْ
Isim tabi’ yang mengikuti dengan huruf penghubung (antara Tabi’ dan Matbu’nya), demikian definisi Athaf Nasaq. Seperti contoh “Ukhshush bi waddin wa tsanaa’in man shadaqa” = Istimewakan..! dengan belas kasih dan sanjungan terhadap orang-orang yang jujur.[14]
فَالْعَطْفُ مُطْلَقاً بِوَاوٍ ثُمَّ فَا ¤ حَتَّى أمَ أوْ كَفيكَ صِدْقٌ وَوَفَا
Athaf yang mengikuti secara Mutlaq (lafazh dan Makna) yaitu dengan huruf Athaf Wawu, Tsumma, Fa’, Hatta, Am, dan Aw. Seperti contoh “Fiika shidqun wa wafaa” = kamu harus jujur dan menepati.[15]
وَأتْبَعَت لَفْظاً فَحَسْبُ بَلْ وَلا ¤ لَكِنْ كَلَمْ يَبْدُ امْرُؤٌ لَكِنْ طَلَا
Sedangkan huruf Athaf yang cukup mengikutkan secara lafazhnya saja, yaitu Bal, Laa dan Laakin. Seperti contoh “Lam yabdu imru’un laakin tholaa” tidak tampak seorangpun melainkan anak rusa.[16]
Isim Tabi’ yang terdapat perantara di antara Tabi’ dan Matbu’ dengan salah satu huruf Athaf.
Definisi Nasaq menurut bahasa adalah Isim Mashdar “NASQUN” yang berarti “penyusunan teratur” contoh: NASAQTU AL-KALAAMA (aku menyusun/mengatur kalimat). yakni mengathafkan satu bagian kepada bagian yang lain sehingga bagian-bagian tersebut beriringan secara teratur.
Huruf-huruf Athaf semuanya ada sembilan dan terbagai menjadi dua bagian:
1. Bagian pertama dari Huruf-huruf Athaf yang melaksanakan Tasyrik (penyekutuan) secara lafazh dan makna.
Penyekutuan secara Lafazh dimaksudkan adalah didalam hukum i’robnya. Penyekutuan secara makna dimaksudkan adalah menetapkan pada Ma’thuf dengan hukum yang ditetapkan pada Ma’thuf ‘Alaih. Penetapan demikian berlaku pada Athaf Mufrod, sedangkan Athaf Jumlah tidak berlaku Faidah Tasyrik (penyekutuan). Bagian huruf Athaf disini ada enam huruf yaitu :
1. Wawu (lil-mutlaqil jam’i) artinya dan (untuk menggabungkan)
2. Tsumma (lil-tartibi bit-Tisholi) artinya kemudian (berturut-turut)
3. Huruf Fa’
(lil-tartibi bil-finsholi) artinya kemudian atau lalu
4. Hattaa
(lilghoyah) artinya sehingga atau bahkan
5. Am
(li-tholbil ta’yin) artinya atau (memilih atau membandingkan)
6
. Aw (lil-takhyiri atau asyakki) artinya atau (memilih salah satu)
Contoh :
1.    Wawu :جاء خالد و علي                       “ Telah datang khalid dan ali”
2.    Tsumma :جاء زيد ثمّ عمرو                  “ Telah datang zaid kemudian umar”
3.    Fa’ :       جاء زيد فعمرو                      “Telah datang zaid kemudian umar”
4.    Hatta :قدم الحجّاج حتّى المشاة               “Telah tiba orang-orang yang berhaji sehingga (orang yang berhaji) yang berjalan kaki”
5.    Am :أزيد عندك ام عمرو                       “Apakah orang yang disisimu itu zaid atau umar”
6.    Aw :جاء زيد او عمرو                          “Telah datang zaid atau umar”
2. Bagian kedua dari Huruf-huruf Athaf yang melaksanakan Tasyrik (penyekutuan) secara lafazhnya saja tidak secara makna.
Tasyrik secara lafazhnya, yakni secara i’robnya. Dan tidak secara makna, yakni tidak menghukumi Ma’thuf dengan hukum secara makna yang ada pada ma’thuf Alaih.
Bagian huruf Athaf disini ada tiga huruf :
1. Bal (tetapi atau bahkan)
2. Laa
(bukan atau tidak)
3. Laakin
(tetapi)
Contoh:
1.    Bal :ما جاء الضيف بل ولده                    “Tamu itu tidak datang tapi anaknya”
2.    Laa :جاء زيد لا عمرو                          “Zaid telah datang bukan umar”
3.    Laakin : لا تضرب زيدا لكن عمرا           “Jangan engkau memukul zaid tetapi umar



BAB III
PENUTUP

بسم الله الرحمن الرحيم
اللّهمّ إيّاك نستعين وبمعونتك ينبلج الحقّ ويستبين اللهمّ صلّ على نبيّك العربيّ الصادق الأمين وعلى جميع الأنبياء والمرسلين.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “.

Yaa Allah kepada-Mulah kita semua menyembah dan kepada-Mulah kita semua memohon pertolongan. Juga dengan bantuan-Mulah kebenaran itu menjadi terang dan nyata.
Yaa Allah berikanlah ketetepan shalawat kepada nabi-MU yang berbangsa arab, benar lagi sentausa. Demikian pula kepada semua nabi dan rasul.
Kiranya jelaslah bahwa jalan yang telah kami tempuh dalam menyusun makalah kami yang bertema:
DEFINISI, CONTOH, DAN FAEDAH NA’AT DAN ‘ATHOF
Amat besar kesannya dalam menundukkan qowa’idul lughoti al-‘arobiyyah, bahkan dapat mempercepatkan pengertian bagi para pelajar. Dari segenap penjuru Negara-negara daerah timur, para pelajar itu telah menyambutnya dengan gembira, sehingga nama dan sebutan kitab tadi berjalan disemua tempat bagaikan jalan matahari.
Setiap pelajar benar-benar memperoleh suatu jalan yang berdasarkan fithrohnya untuk mengejar ilmu pengetahuan ini, tanpa melalui jalan yang lengkung dan berbelok-belok. Setiap gurupun dapat menggunakannya sebagai kawan yang memberikan petunjuk kearah jalan yang selempang-lempangnya. Malahan orang tua pun menganggap sebagai penolong yang dapat diandalkan disaat dicemaskan oleh berbagai kitab yang isinya penuh keruwetan dan kesulitan. Kini telah menjadi kenyataan lah apa yang kami angan-angankan sewaktu memulai mengerjakan penyusunan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan syukur Alhamdulillah, bahwa kami telah dapat menunaikan tugas kami terhadap agama dan tanah air serta bahasa arab yang memang merupakan kewajiban atas kita semua untuk memenuhinya dan bahwa melalaikan itu jelaslah merupakan penentangan serta pengingkaran terhadap kewajiban.
Sementara itu kami telah mengetahui pula bahwa banyak sekali penyusun yang dating sesudah kami dan mengikuti jejak langkah kami dengan memilih jalan yang dilaluinya serta menyontoh system yang telah kami kemukakan. Untuk semuanya itu kami bahkan semakin merasa bangga dan bergembira.
Segala sesuatu yang telah kami paparkan diatas itu adalah semata-mata merupakan kesan dan hasil dari makalah kami dan itulah yang menjadi pendorong utama bagi kita untuk  terus menempuh jalan yang telah kami lalui dalam menyusun makalah ini yang dapat digunakan untuk bahan-bahan qowaid dalam sekolah-sekolah. Semoga makalah ini dapat membimbing tangan para pelajar disekolah-sekolah itu dari kegelapan dan keragu-raguan dari cahaya keyakinan, bahkan dapat menyelamatkan mereka dari jurang kebingungan kepada pantai yang aman santausa. Oleh karenanya, maka kami susunlah untuk setiap tahun pengajaran dari sekolah-sekolah tersebut sebuah jilid yang khusus. Isinya adalah sebagai ketetapan bahan-bahan qowa’id ‘arobiyah yang perlu dimiliki oleh para pelajar dalam tiap-tiap tahunnya.
Kepada Allah Ta’ala kami memohonkan semogalah kemanfa’atan makalah ini dapat merata secara sempurna. Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Maha Mendengar dan Mengabulakan segala permohonan.



DAFTAR PUSTAKA

Ibnu ‘Abdullah bin Malik, Jamaaluddin Muhammad. Syarh ibnu Aqil ‘ala Alfiyyah. 2005. Surabaya: Al-Haromain Jaya No.63
Husaen, Syarifuddin. Minhatul Maalik Fii Tarjimatu Al-Fiyyah Ibnu Maalik Bil Lughotil Al-Indonesiati. 1993. Semarang: al-Maktabah karya Thoha Putra.
Ni’mah, Fuad. Mulkhosqowa’idullughoti Al-‘Arobiyyah. Tt. Surabaya: al-Maktabah al-Hidayah.
Al-Gholayiini, Syeh Musthofa. Jami’ud AL-Durus al-Arobiyyah. 1997. Beirut: al-Maktabah al-‘Adloryyah
Shofwan, M.Sholihuddin. Maqoosidu an-Nahwiyyah (pengantar memahami Alfiyyah Ibnu Malik). 2005. Jombang: Darul Hikmah


[1]Jamaaluddin Muhammad ibnu ‘Abdullah bin Malik, Syarh ibnu Aqil ‘ala Alfiyyah, 2005, Surabaya: al-Haromain jaya no.63, hal.127
[2]Syarifuddin Husaen, Minhatul Maalik Fii Tarjimatu Al-Fiyyah Ibnu Maalik Bil Lughotil Al-Indonesiati, 1993, Semarang: al-Maktabah karya Thoha Putra, juz III, hal.14
[3]Fuad Ni’mah, Mulkhosqowa’idullughoti Al-‘Arobiyyah, tt, Surabaya: al-Maktabah al-Hidayah, juz I, hal.51
[4]Syeh Musthofa al-Gholayiini, Jami’ud Durus al-‘Arobiyah, 1997, Beirut: al-Maktabah al-‘Adloryyah, juz III, hal.221-222
[5] M. Sholihuddin Shofwan, Maqoosidun Nahwiyyah ( pengantar memahami alfiyyah ibnu malik ), 2005, Jombang : Darul Hikmah, Juz III Hlm 120
[6] Ibid hlm, 121
[7] ibid
[8] Ibid hlm, 119-120

[9] Syarifuddin Husain, Minhatul Maalik Fii Tarjamati Alfiyyah Ibnu Maalik Bil-Lughoti al-Indonesiati, 1993, Semarang: Al-Maktabah Karya Toha Putra, juz III hlm 49
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid hlm 50
[14] Jamaaluddin Muhammad ibnu ‘Abdullah bin Malik, Syarh Ibnu Aqil ‘ala Alfiyyah, 2005, Surabaya: al-              Haromain jaya no.63, hal.133
[15] Ibid
[16] Ibid

Tidak ada komentar: