BAB
I
PENDAHULUAN
Untuk mempelajari Al-Qur;an dan Hadits kita harus belajar terlebih
dahulu ilmu alatnya yaitu nahwu dan shorof. Dengan kita mahir dan mengerti ilmu
nahwu dan shorof, maka kita akan mudah mempelajari Al-Qur’an, Hadits maupun
kitab-kitab kuning lainnya, sehingga kita tidak salah untuk mengartikan dan
memahaminya.
Ilmu nahwu dikatakan ayahnya ilmu, sedangkan ilmu shorof sebagai
ibunya, ketika keduanya dipadukan maka akan bermunculan ilmu-ilmu yang lain
karenanya, sebagai-mana perpaduan ayah dan ibu, mereka akan menghasilkan
seorang anak. Barang siapa mahir ilmu nahwu dan shorof, maka sangat mudah
baginya untuk mendapatkan ilmu lainnya. Dengan kita mengetahui apa-apa yang
terdapat di dalam pemdahasan ilmu nahwu , maka kita akan lebih mudah untuk
mempelajari dan memahaminya. dan didalam makalah ini akn dibahas tentang
isim-isim yang dirafa’kan. Isim-isim yang dirafa’kan merupakan salah satu bab
yang terdapat di dalam ilmu nahwu.
§ Macam-macam isim yang dirafa’kan ?
C. Tujuan Pembahasan
§ Mengetahui macam-macam isim yang dirafa’kan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Isim-Isim Yang Dirafa’kan
المَرْفُوْعَاتُ
سَبْعَةٌ وَهِيَ الْفَاعِلُ وَالْمَفْعُوْلُ الَّذِىْ لَمْ يُسَمَّ فَاعِلُهُ
وَالْمُبْتَدَاءُ وَخَبَرُهُ وَاسْمُ كَانَ وَأَخَوَاتِهَا وَخَبَرُإِنَّ
وَأَخَوَاتِهَا وَالتَّابِعُ لِلْمَرْفُوْعِ وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ
النَّعْتُ وَالتَّوْكِيْدُ وَاْلعَطْفُ وَاْلبَد لُ .
Isim-ism-im yang dirafa’kan ada 7 macam, yaitu:
1.
Fa’il
فَا لْفَاعِلُ اسْمٌ مُطْلَقًا قَدِ ارْتَفَعْ بِفِعْلِهِ وَاْلفِعْلُ قَبْلَهُ وَقَعْ
Isim yang
dibaca rafa’ dengan fi’il yang terletak sebelumnya.[1]
Contoh :جَاءَ زَيْدٌ “zaid
telah berdiri”
Lafadz: زَيْدٌ di sini adalah fa’il yang dibaca
rafa’. Dirafa’kan oleh fi’il maadli : جَاءَ. Rafa’nya ditandai dengan dhomah.
2. Naaibul Fail
وَهُوَاْلإِسْمُ اْلمَرْفُوْعُ الّذِىْ لَمْ يُذْكَرْ مَعَهُ
فَاعِلُهُ
Isim yang
dibaca rafa’ yang tidak disebutkan fa’ilnya.[2]
Contohوَخُلِقَ اْلإنْسَانُ ضَعِيْفًا : “dan
manusia dijadikan bersifat lemah”
Asalnya : وَخَلَقَ
اللّهُ اْلإِنْسَانَ ضَعِيْفًاLafadz: اللّه
dibuang karena sudah dianggap maklum,
lalu Lafadz: اْلإِنْسَان menggantikan kedudukannya(Menjadi Naaibul Fail).
3.
Mubtada’
اْلمُبْتَدَ اسْمٌ رَفْعُهُ مُؤَبَّدُ عَنْ كُلِّ لَفْظٍ عَا مِلٍ مُجَرَّدُ
Isim yang
dibaca rafa’ yang disepikan dari amil-amil lafdhiyah.[3]
Mubtada’ itu
terbagi menjadi 2 macam:
1.
Mubtada’
isim dhahir
Contoh : زَيْدٌ قَاءِمٌ
Lafadz : زَيْدٌ
menjadi mubtada’ yang dirafa’kan oleh amil ma’nawi ibtida’, tanda
rafa’nya dengan dhommah karena isim mufrod.
2.
Mubtada’
isim dhamir
Contoh: أَنَا جَامِلٌ
Lafadz
: أَنَا menjadi mubtada’ yang dibaca rafa’kan, tanda
rafa’nya mabni sukun.
4.
Khobar
وَاْلخَبَرُاسْمٌ ذُ ارْتِفَاعٍ اُسْنِدَا مُطَابِقًا فىِ لَفْظِهِ
لِلْمُبْتَدَا
Isim yang dibaca rafa’ yang
disandarkan pada mubtada’.
Khobar harus mencocoki kepada lafadznya mubtada’.[4]
Contoh : مُحَمَّدٌ جَا لِسٌ
5.
Isimnya kaana dan saudara-saudaranya
Contoh : كَانَ زَيْدٌ قَا
ئِمًا
Lafadz : زَيْدٌ dibaca rafa’ karena menjadi isimya كَانَ , rafa’nya
ditandai dengan dhommah,karena isim mufrod. Sedangkan قَائِمًا
dibaca nashob karena menjadi khobarnya كَانَ , nashobnya ditandai dengan fathah.
Sebelum kemasukan كَانَ berasal dari susunan mubtada’-khobar : قَائِمٌزَيْدٌ ..[5]
6.
Khobarnya inna dan saudara-saudaranya
Contoh
: إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Lafadz
: قَائِمٌ
dibaca rafa’ karena menjadi khobarnya إِنَّ ,
rafa’nya ditandai dengan dhommah. Sebelum kemasukan إِنَّ berasal dari susunan mubtada’ dan khobar قَائِمٌ: زَيْدٌ .[6]
7.
Lafadz yang mengikuti kalimah yang dibaca rofa’, ada 4 macam, yaitu
:
a.
Na’at (sifat)
النّعت
هو التّا بع المكمّل متبوعه ببيان صفة من صفا ته
Na’at adalah taabi’ ( lafadz yang
ikut pada matbu’ ) yang didatangkan untuk menyempurnakan ma’nanya matbu’
dengan menjelaskan sifatnya.[7]
Contoh : زَيْدٌ
اْلمُعَلِّمُ جَاءَ Telah datang zaid yang mengajar itu.
Lafadz : اْلمُعَلِّمُ adalah na’at yang dibaca rafa’ karena mengikuti kepada
man’utnya yaitu : زَيْدٌ , rafa’nya ditandai
denagn dhommah.
b.
Taukid
التَّابِعُ الرَّافِعُ لِلْلإِحْتِمَالِ
Thabi’ (lafadz yang mengikuti )yang
berfunsi untuk melenyapkan anggapan lain yang berkaitan dengan lafadz yang
ditaukidkan.
Contoh : جَاءَ زَيْدٌ
نَفْسُهُ zaid telah dating
sendiri,
Lafadz : نَفْسُهُ
berkedudukan sebagai taukid yang mengukuhkan makna zaidun, sebab kalau
tidak memakai
نَفْسُهُ , maka ada kemungkinan yang dating itu utusan zaid , bukan zaid,
dan sebagainya.[8]
Dan juga bias menggunakan
lafadz-lafadz taukid lainnya.
c. ‘Athaf
التَّابِعُاْلمُتَوَسِّطُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَتْبُوْعِهِ اَحَدُ حُرُوْفِ اْلعَطْفِ
Tabi’ (lafadz
yang mengikuti) yang antara ia dan ma’thufnya ditengah-tengahi oleh salah satu
huruf ‘athaf.
Contoh : جَاءَ زَيْدٌ
وَعَمْرٌو telah datng zaid dan
Amr.
Lafadz ‘amr
mengikuti lafadz zaid yang ditengah-tengahi oleh wawu huruf ‘athaf. Lafadz ‘amr ma’thuf ( di- ‘athafkan ), sedangkan lafadz zaid yang
di-‘athafinya ( ma’thuf ‘alaihi ).[9]
d.
Badal
Kalimah isim
yang mengikuti pada mubdal minhu dalam masalah I’robnya, dan yang dimaksud (
dituju ) dengan tanpa perantara huruf ‘athaf antara tabi’ ( badal ) dengan matbu’ ( mubdal minhu ).[10]
Contoh : أَكَلْتُ الرَّغِيْفَ ثُلُثَهُ aku telah memakan roti itu sepertiganya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Isim-isim yang
dirafa’kan itu ada 7 yaitu:
1.
Fa’il
2.
Naaibul
fa’il
3.
Mubtada’
4.
Khobar
5.
Isimnya
kaana dan saudaranya
6.
Khobarnya
inna dan saudaranya
7.
Lafadz
yang mengikuti kalimah yang dirafa’kan
Yaitu ada 4
macam:
a.
Na’at
b.
Taukid
c.
‘athaf
d.
Badal
B.
Kritik dan Saran
Dari beberapa uraian diatas, mungkin banyak sekali kesalahan dalam sistematika
penulisan atau yang lainnya,. Kami mohon
kepada mahasiswa/i, kiranya sudi memberikan saran dan kritiknya demi
tercapainya kesempurnaan makalah ini.
[1] M.
Sholihuddin Shofwan, Al-Fawaid An-Nahwiyah ( Pengantar Memahami Al-Imrthi ),
2007, Jombang : Darul Hikmah, Juz II, Hal 2.
[2] K.
H. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Al-Jurumiyah Dan Al-Imrithy ),
2011, Bandung :Sinar Baru Algesindo, Hal 80.
[3]
Ibid hal, 85-87.
[4] Al-fawaid
an-nahwiyah ( pengantar memahami al-imrithi ), hal, 25.
[5] M.
Ridlwan Qoyyun Sa’id, Ilmu Nahwu (Terjemah Praktis Nadhom ‘Amrithi),
2009, Kediri : Mitra Gayatri, Hal 112.
[6]
Ibid, hal 118.
[7]
Syarifuddin Husaen, Minhatul Malik Fii Tarjimatu Al-Fiyah Ibnu Maalik Bil
Lughotil Al-Indonesia, 1993, Semarang: Al-Maktabah Karya Thoha Putra, Juz
III, Hal. 14.
[8] K.
H. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Al-Jurumiyah Dan Al-Imrithy ),
Hal.116.
[9]
Ibid, hal. 112.
[10]
Abu An’im, Sang Pangeran Nahwu Al-Jurumiyyah (pengantar memahami dan mahir
matan aljurumiyyah), 2009, Kediri : CV. Sumenang, Hal. 260.