Minggu, 24 Maret 2013

Isim-Isim Yang Dirafa’kan



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mempelajari Al-Qur;an dan Hadits kita harus belajar terlebih dahulu ilmu alatnya yaitu nahwu dan shorof. Dengan kita mahir dan mengerti ilmu nahwu dan shorof, maka kita akan mudah mempelajari Al-Qur’an, Hadits maupun kitab-kitab kuning lainnya, sehingga kita tidak salah untuk mengartikan dan memahaminya.
Ilmu nahwu dikatakan ayahnya ilmu, sedangkan ilmu shorof sebagai ibunya, ketika keduanya dipadukan maka akan bermunculan ilmu-ilmu yang lain karenanya, sebagai-mana perpaduan ayah dan ibu, mereka akan menghasilkan seorang anak. Barang siapa mahir ilmu nahwu dan shorof, maka sangat mudah baginya untuk mendapatkan ilmu lainnya. Dengan kita mengetahui apa-apa yang terdapat di dalam pemdahasan ilmu nahwu , maka kita akan lebih mudah untuk mempelajari dan memahaminya. dan didalam makalah ini akn dibahas tentang isim-isim yang dirafa’kan. Isim-isim yang dirafa’kan merupakan salah satu bab yang terdapat di dalam ilmu nahwu.

B. Rumusan Masalah
§  Macam-macam isim yang dirafa’kan ?

       C. Tujuan Pembahasan
§  Mengetahui macam-macam isim yang dirafa’kan.



BAB II
PEMBAHASAN

 

     A. Isim-Isim Yang Dirafa’kan
المَرْفُوْعَاتُ سَبْعَةٌ وَهِيَ الْفَاعِلُ وَالْمَفْعُوْلُ الَّذِىْ لَمْ يُسَمَّ فَاعِلُهُ وَالْمُبْتَدَاءُ وَخَبَرُهُ وَاسْمُ كَانَ وَأَخَوَاتِهَا وَخَبَرُإِنَّ وَأَخَوَاتِهَا وَالتَّابِعُ لِلْمَرْفُوْعِ وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ النَّعْتُ وَالتَّوْكِيْدُ وَاْلعَطْفُ وَاْلبَد لُ  .

Isim-ism-im yang dirafa’kan ada 7 macam, yaitu:

1.      Fa’il
فَا لْفَاعِلُ اسْمٌ مُطْلَقًا قَدِ ارْتَفَعْ         بِفِعْلِهِ وَاْلفِعْلُ قَبْلَهُ وَقَعْ
Isim yang dibaca rafa’ dengan fi’il yang terletak sebelumnya.[1]
Contoh :جَاءَ زَيْدٌ            “zaid telah berdiri”
                        Lafadz:  زَيْدٌ  di sini adalah fa’il yang dibaca rafa’. Dirafa’kan oleh fi’il maadli : جَاءَ. Rafa’nya ditandai dengan dhomah.

2.       Naaibul Fail
وَهُوَاْلإِسْمُ اْلمَرْفُوْعُ الّذِىْ لَمْ يُذْكَرْ مَعَهُ فَاعِلُهُ
Isim yang dibaca rafa’ yang tidak disebutkan fa’ilnya.[2]
Contohوَخُلِقَ اْلإنْسَانُ ضَعِيْفًا   :      “dan manusia dijadikan bersifat lemah”
Asalnya :    وَخَلَقَ اللّهُ اْلإِنْسَانَ ضَعِيْفًاLafadz: اللّه  dibuang karena sudah dianggap maklum, lalu  Lafadz: اْلإِنْسَان menggantikan kedudukannya(Menjadi Naaibul Fail).

3.      Mubtada’
اْلمُبْتَدَ اسْمٌ رَفْعُهُ مُؤَبَّدُ          عَنْ كُلِّ لَفْظٍ عَا مِلٍ مُجَرَّدُ
Isim yang dibaca rafa’ yang disepikan dari amil-amil lafdhiyah.[3]
Mubtada’ itu terbagi menjadi 2 macam:
1.      Mubtada’ isim dhahir
Contoh : زَيْدٌ قَاءِمٌ  
Lafadz :  زَيْدٌ  menjadi mubtada’ yang dirafa’kan oleh amil ma’nawi ibtida’, tanda rafa’nya dengan dhommah karena isim mufrod.
2.      Mubtada’ isim dhamir
Contoh: أَنَا جَامِلٌ
Lafadz :  أَنَا   menjadi mubtada’ yang dibaca rafa’kan, tanda rafa’nya mabni sukun.

4.      Khobar
وَاْلخَبَرُاسْمٌ ذُ ارْتِفَاعٍ اُسْنِدَا           مُطَابِقًا فىِ لَفْظِهِ لِلْمُبْتَدَا
Isim yang dibaca rafa’ yang disandarkan pada mubtada’.  Khobar harus  mencocoki kepada lafadznya mubtada’.[4]
Contoh :  مُحَمَّدٌ جَا لِسٌ

5.      Isimnya kaana dan saudara-saudaranya
Contoh :  كَانَ زَيْدٌ قَا ئِمًا
Lafadz :  زَيْدٌ  dibaca rafa’ karena menjadi isimya  كَانَ , rafa’nya ditandai dengan dhommah,karena isim mufrod. Sedangkan قَائِمًا  dibaca nashob karena menjadi khobarnya كَانَ , nashobnya ditandai dengan fathah. Sebelum kemasukan كَانَ  berasal dari susunan mubtada’-khobar :   قَائِمٌزَيْدٌ  ..[5]

6.      Khobarnya inna dan saudara-saudaranya
Contoh :      إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Lafadz :  قَائِمٌ  dibaca rafa’ karena menjadi khobarnya  إِنَّ  , rafa’nya ditandai dengan dhommah. Sebelum kemasukan  إِنَّ  berasal dari susunan mubtada’ dan khobar قَائِمٌ: زَيْدٌ .[6]




7.      Lafadz yang mengikuti kalimah yang dibaca rofa’, ada 4 macam, yaitu :
a.      Na’at (sifat)
النّعت هو التّا بع المكمّل متبوعه ببيان صفة من صفا ته
Na’at adalah taabi’ ( lafadz yang ikut pada matbu’ ) yang didatangkan untuk menyempurnakan ma’nanya matbu’ dengan menjelaskan sifatnya.[7]
Contoh : زَيْدٌ اْلمُعَلِّمُ جَاءَ        Telah datang zaid yang mengajar itu.
Lafadz :  اْلمُعَلِّمُ adalah na’at yang dibaca rafa’ karena mengikuti kepada man’utnya yaitu : زَيْدٌ  , rafa’nya ditandai denagn dhommah.

b.      Taukid
     التَّابِعُ الرَّافِعُ لِلْلإِحْتِمَالِ
Thabi’ (lafadz yang mengikuti )yang berfunsi untuk melenyapkan anggapan lain yang berkaitan dengan lafadz yang ditaukidkan.
Contoh :  جَاءَ زَيْدٌ نَفْسُهُ         zaid telah dating sendiri,
Lafadz :  نَفْسُهُ  berkedudukan sebagai taukid yang mengukuhkan makna zaidun, sebab kalau tidak memakai نَفْسُهُ    , maka ada kemungkinan yang dating itu utusan zaid , bukan zaid, dan sebagainya.[8]
Dan juga bias menggunakan lafadz-lafadz taukid lainnya.

c.       ‘Athaf
التَّابِعُاْلمُتَوَسِّطُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَتْبُوْعِهِ اَحَدُ حُرُوْفِ اْلعَطْفِ
Tabi’ (lafadz yang mengikuti) yang antara ia dan ma’thufnya ditengah-tengahi oleh salah satu huruf ‘athaf.
Contoh :  جَاءَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو      telah datng zaid dan Amr.
Lafadz ‘amr mengikuti lafadz zaid yang ditengah-tengahi oleh wawu huruf   ‘athaf. Lafadz ‘amr ma’thuf  ( di- ‘athafkan ), sedangkan lafadz zaid yang di-‘athafinya ( ma’thuf ‘alaihi ).[9]

d.      Badal
Kalimah isim yang mengikuti pada mubdal minhu dalam masalah I’robnya, dan yang dimaksud ( dituju ) dengan tanpa perantara huruf ‘athaf antara tabi’  ( badal ) dengan  matbu’ ( mubdal minhu ).[10]
Contoh : أَكَلْتُ الرَّغِيْفَ ثُلُثَهُ      aku telah memakan roti itu sepertiganya.
























BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Isim-isim yang dirafa’kan itu ada 7 yaitu:
1. Fa’il
2. Naaibul fa’il
3. Mubtada’
4. Khobar
5. Isimnya kaana dan saudaranya
6. Khobarnya inna dan saudaranya
7. Lafadz yang mengikuti kalimah yang dirafa’kan
Yaitu ada 4 macam:
a.       Na’at
b.      Taukid
c.       ‘athaf
d.      Badal

B.     Kritik dan Saran
Dari beberapa uraian diatas, mungkin banyak sekali kesalahan dalam sistematika penulisan  atau yang lainnya,. Kami mohon kepada mahasiswa/i, kiranya sudi memberikan saran dan kritiknya demi tercapainya kesempurnaan makalah ini.




[1] M. Sholihuddin Shofwan, Al-Fawaid An-Nahwiyah ( Pengantar Memahami Al-Imrthi ), 2007, Jombang : Darul Hikmah, Juz II, Hal 2.
[2] K. H. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Al-Jurumiyah Dan Al-Imrithy ), 2011, Bandung :Sinar Baru Algesindo, Hal 80.
[3] Ibid hal, 85-87.
[4] Al-fawaid an-nahwiyah ( pengantar memahami al-imrithi ), hal, 25.
[5] M. Ridlwan Qoyyun Sa’id, Ilmu Nahwu (Terjemah Praktis Nadhom ‘Amrithi), 2009, Kediri : Mitra Gayatri, Hal 112.
[6] Ibid, hal 118.
[7] Syarifuddin Husaen, Minhatul Malik Fii Tarjimatu Al-Fiyah Ibnu Maalik Bil Lughotil Al-Indonesia, 1993, Semarang: Al-Maktabah Karya Thoha Putra, Juz III, Hal. 14.
[8] K. H. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Al-Jurumiyah Dan Al-Imrithy ), Hal.116.
[9] Ibid, hal. 112.
[10] Abu An’im, Sang Pangeran Nahwu Al-Jurumiyyah (pengantar memahami dan mahir matan aljurumiyyah), 2009, Kediri : CV. Sumenang, Hal. 260.